Sabtu, 29 Oktober 2011

hukum perikatan / perjanjian


HUKUM PERIKATAN / PERJANJIAN


Perjanjian adalah salah satu bagian terpenting dari hukum perdata. Sebagaimana diatur dalam buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Di dalamnya diterangkan mengenai perjanjian, termasuk di dalamnya perjanjian khusus yang dikenal oleh masyarakat seperti perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa,dan perjanjian pinjam-meminjam.

Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang berdasarkan mana yang satu berhak menuntut hal dari pihak lain dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.

Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.

Pengertian perjanjian secara umum adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lainnya atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa itulah maka timbul suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Dalam bentuknya, perjanjian merupakan suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Sedangkan definisi dari perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan Perikatan adalah suatu pengertian yang abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang konkret atau suatu peristiwa.

Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik yaitu keinginan subyek hukum untuk berbuat sesuatu, kemudian mereka mengadakan negosiasi dengan pihak lain, dan sudah barang tentu keinginan itu sesuatu yang baik. Itikad baik yang sudah mendapat kesepakatan terdapat dalam isi perjanjian untuk ditaati oleh kedua belah pihak sebagai suatu peraturan bersama. Isi perjanjian ini disebut prestasi yang berupa penyerahan suatu barang, melakukan suatu perbuatan, dan tidak melakukan suatu perbuatan.

Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi 4 syarat:

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.

3. Suatu pokok persoalan tertentu.

4. Suatu sebab yang tidak terlarang.

Dua syarat pertama disebut juga dengan syarat subyektif, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat obyektif. Dalam hal tidak terpenuhinya unsur pertama (kesepakatan) dan unsur kedua (kecakapan) maka kontrak tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan apabila tidak terpenuhinya unsur ketiga (suatu hal tertentu) dan unsur keempat (suatu sebab yang halal) maka kontrak tersebut adalah batal demi hukum.

Suatu persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan atau undang-undang. Syarat-syarat yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan, harus dianggap telah termasuk dalam suatu persetujuan, walaupun tidak dengan tegas dimasukkan di dalamnya.

Menurut ajaran yang lazim dianut sekarang, perjanjian harus dianggap lahir pada saat pihak yang melakukan penawaran (offerte) menerima jawaban yang termaktub dalam surat tersebut, sebab detik itulah yang dapat dianggap sebagai detik lahirnya kesepakatan. Walaupun kemudian mungkin yang bersangkutan tidak membuka surat itu, adalah menjadi tanggungannya sendiri. Sepantasnyalah yang bersangkutan membaca surat-surat yang diterimanya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, karena perjanjian sudah lahir. Perjanjian yang sudah lahir tidak dapat ditarik kembali tanpa izin pihak lawan. Saat atau detik lahirnya perjanjian adalah penting untuk diketahui dan ditetapkan, berhubung adakalanya terjadi suatu perubahan undang-undang atau peraturan yang mempengaruhi nasib perjanjian tersebut, misalnya dalam pelaksanaannya atau masalah beralihnya suatu risiko dalam suatu peijanjian jual beli.

Tempat tinggal (domisili) pihak yang mengadakan penawaran (offerte) itu berlaku sebagai tempat lahirnya atau ditutupnya perjanjian. Tempat inipun menjadi hal yang penting untuk menetapkan hukum manakah yang akan berlaku.

Dalam hukum pembuktian ini, alat-alat bukti dalam perkara perdata terdiri dari: bukti tulisan, bukti saksi-saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan bukti sumpah.

Perjanjian harus ada kata sepakat kedua belah pihak karena perjanjian merupakan perbuatan hukum bersegi dua atau jamak. Perjanjian adalah perbuatan-perbuatan yang untuk terjadinya disyaratkan adanya kata sepakat antara dua orang atau lebih, jadi merupakan persetujuan. Keharusan adanya kata sepakat dalam hukum perjanjian ini dikenal dengan asas konsensualisme. asas ini adalah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kata sepakat.

Syarat pertama di atas menunjukkan kata sepakat, maka dengan kata-kata itu perjanjian sudah sah mengenai hal-hal yang diperjanjikan. Untuk membuktikan kata sepakat ada kalanya dibuat akte baik autentik maupun tidak, tetapi tanpa itupun sebetulnya sudah terjadi perjanjian, hanya saja perjanjian yang dibuat dengan akte autentik telah memenuhi persyaratan formil.

Subyek hukum atau pribadi yang menjadi pihak-pihak dalam perjanjian atau wali/kuasa hukumnya pada saat terjadinya perjanjian dengan kata sepakat itu dikenal dengan asas kepribadian. Dalam praktek, para pihak tersebut lebih sering disebut sebagai debitur dan kreditur. Debitur adalah yang berhutang atau yang berkewajiban mengembalikan, atau menyerahkan, atau melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu. Sedangkan kreditur adalah pihak yang berhak menagih atau meminta kembali barang, atau menuntut sesuatu untuk dilaksanakan atau tidak dilaksanakan.

Berdasar kesepakatan pula, bahwa perjanjian itu dimungkinkan tidak hanya mengikat diri dari orang yang melakukan perjanjian saja tetapi juga mengikat orang lain atau pihak ketiga, perjanjian garansi termasuk perjanjian yang mengikat pihak ketiga .

Causa dalam hukum perjanjian adalah isi dan tujuan suatu perjanjian yang menyebabkan adanya perjanjian itu. Berangkat dari causa ini maka yang harus diperhatikan adalah apa yang menjadi isi dan tujuan sehingga perjanjian tersebut dapat dinyatakan sah. Yang dimaksud dengan causa dalam hukum perjanjian adalah suatu sebab yang halal. Pada saat terjadinya kesepakatan untuk menyerahkan suatu barang, maka barang yang akan diserahkan itu harus halal, atau perbuatan yang dijanjikan untuk dilakukan itu harus halal. Jadi setiap perjanjian pasti mempunyai causa, dan causa tersebut haruslah halal. Jika causanya palsu maka persetujuan itu tidak mempunyai kekuatan. Isi perjanjian yang dilarang atau bertentangan dengan undang-undang atau dengan kata lain tidak halal, dapat dilacak dari peraturan perundang-undangan, yang biasanya berupa pelanggaran atau kejahatan yang merugikan pihak lain sehingga bisa dituntut baik secara perdata maupun pidana. Adapun isi perjanjian yang bertentangan dengan kesusilaan cukap sukar ditentukan, sebab hal ini berkaitan dengan kebiasaan suatu masyarakat sedangkan masing-masing kelompok masyarakat mempunyai tata tertib kesusilaan yang berbeda-beda.

Secara mendasar perjanjian dibedakan menurut sifat yaitu :

1. Perjanjian Konsensuil

Adalah perjanjian dimana adanya kata sepakat antara para pihak saja, sudah cukup untuk timbulnya perjanjian.

2. Perjanjian Riil

Adalah perjanjian yang baru terjadi kalau barang yang menjadi pokok perjanjian telah diserahkan.

3. Perjanjian Formil

Adalah perjanjian di samping sepakat juga penuangan dalam suatu bentuk atau disertai formalitas tertentu.

Perikatan hapus:
1. pembayaran
2. penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan

3. pembaruan utang
4. perjumpaan utang atau kompensasi
5. percampuran utang, karena pembebasan utang, karena musnahnya barang yang terutang
6. kebatalan atau pembatalan
7. berlakunya suatu syarat pembatalan, karena lewat waktu.

Tiap perikatan dapat dipenuhi oleh siapa pun yang berkepentingan, seperti orang yang turut berutang atau penanggung utang. Suatu perikatan bahkan dapat dipenuhi oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan, asal pihak ketiga itu bertindak atas nama dan untuk melunasi utang debitur, atau asal ia tidak mengambil alih hak-hak kreditur sebagai pengganti jika ia bertindak atas namanya sendiri.

Jika kreditur menolak pembayaran, maka debitur dapat melakukan penawaran pembayaran tunai atas apa yang harus dibayarnya; dan jika kreditur juga menolaknya, maka debitur dapat menitipkan uang atau barangnya kepada pengadilan. Penawaran demikian, yang diikuti dengan penitipan, membebaskan debitur dan berlaku baginya sebagai pembayaran, asal penawaran itu dilakukan menurut undang-undang; sedangkan apa yang dititipkan secara demikian adalah atas tanggungan kreditur.

Ada tiga macam jalan untuk melaksanakan pembaharuan utang:

1. bila seorang debitur membuat suatu perikatan utang baru untuk kepentingan kreditur yang menggantikan utang lama.

2. bila seorang debitur baru ditunjuk untuk menggantikan debitur lama.

3. bila sebagai akibat suatu persetujuan baru seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur lama.

Pembaharuan utang hanya dapat dilakukan antara orang-orang yang cakap untuk mengadakan perikatan.

Jika dua orang saling berutang, maka terjadilah antara mereka suatu perjumpaan utang, yang menghapuskan utang-utang kedua orang tersebut . Perjumpaan terjadi demi hukum, bahkan tanpa setahu debitur, dan kedua utang itu saling menghapuskan pada saat utang itu bersama-sama ada, bertimbal-balik untuk jumlah yang sama.

Bila kedudukan sebagai kreditur dan debitur berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu percampuran utang, dan oleh sebab itu piutang dihapuskan. Percampuran utang yang terjadi pada debitur utama berlaku juga untuk keuntungan para penanggung utangnya. Percampuran yang terjadi pada diri si penanggung utang, sekali-kali tidak.

Pembebasan suatu utang tidak dapat hanya diduga-duga, melainkan harus dibuktikan. Pengembalian sepucuk surat piutang di bawah tangan yang asli secara sukarela oleh kreditur kepada debitur, merupakan suatu bukti tentang pembebasan utangnya, bahkan juga terhadap orang-orang lain yang turut berutang secara tanggung-menanggung.

Jika barang tertentu yang menjadi pokok suatu persetujuan musnah, tak dapat diperdagangkan, atau hilang hingga tak diketahui sama sekali apakah barang itu masih ada atau tidak, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di luar kesalahan debitur dan sebelum ia lalai menyerahkannya.

Semua perikatan yang dibuat oleh anak-anak yang belum dewasa atau orang-orang yang berada di bawah pengampuan adalah batal demi hukum, dan atas tuntutan yang diajukan oleh atau dari pihak mereka, harus dinyatakan batal, semata-mata atas dasar kebelumdewasaan atau pengampuannya. Perikatan yang dibuat oleh perempuan yang bersuami dan oleh anak-anak yang belum dewasa yang telah disamakan dengan orang dewasa, tidak batal demi hukum, sejauh perikatan tersebut tidak melampaui batas kekuasaan mereka.

uu no. 4 tahun 1992


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 4 TAHUN 1992
TENTANG
PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. bahwa dalam pembangunan nasional yang pada hakikatnya
adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan
pembangunan seluruh masyarakat Indonesia, perumahan dan
permukiman yang layak, sehat, aman, serasi, dan teratur
merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia dan
merupakan faktor penting dalam peningkatan harkat dan
martabat mutu kehidupan serta kesejahteraan rakyat dalam
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945;
b. bahwa dalam rangka peningkatan harkat dan martabat,
mutu kehidupan dan kesejahteraan tersebut bagi setiap
keluarga Indonesia, pembangunan perumahan dan
permukiman sebagai bagian dari pembangunan nasional perlu
terus ditingkatkan dan dikembangkan secara terpadu,
terarah, berencana, dan berkesinambungan;
c. bahwa peningkatan dan pengembangan pembangunan
perumahan dan permukiman dengan berbagai aspek
permasalahannya perlu diupayakan sehingga merupakan satu
kesatuan fungsional dalam wujud tata ruang fisik, kehidupan
ekonomi, dan sosial budaya untuk mendukung ketahanan
nasional, mampu menjamin kelestarian lingkungan hidup,
dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia Indonesia
dalam berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara;
d. bahwa Undang-undang Nomor 1 Tahun 1964 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
Nomor 6 Tahun 1962 tentang Pokok-Pokok Perumahan
(Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor 40, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2476) menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 3, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2611) sudah tidak sesuai dengan
kebutuhan dan perkembangan keadaan, dan oleh karenanya
dipandang perlu untuk mengatur kembali ketentuan
mengenai perumahan dan permukiman dalam Undang-
Undang yang baru;
Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 33
Undang-Undang Dasar 1945;

Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau
hunian dan sarana pembinaan keluarga;
2, Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan
tempal tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana
dan sarana lingkungan;
3. Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung,
baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi
sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat
kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan;
4. Satuan lingkungan permukiman adalah kawasan perumahan dalam
berbagai bentuk dan ukuran dengan penataan tanah dan ruang, prasarana
dan sarana lingkungan yang terstruktur;
5. Prasarana lingkungan adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan yang
memungkinkan lingkungan permukiman dapat berfungsi sebagaimana
mestinya;
6. Sarana lingkungan adalah fasililas penunjang, yang berfungsi untuk
penyelenggaraan dan penqembangan kehidupan ekonomi, sosial dan
budaya;
7. Utilitas umum adalah sarana penunjang untuk pelayanan lingkungan;
8. Kawasan siap bangun adalah sebidang tanah yang fisiknya telah
dipersiapkan untuk pembangunan perumahan dan permukiman skala besar
yang terbagi dalam satu lingkungan siap bangun atau lebih yang
pelaksanaannya dilakukan secara bertahap dengan lebih dahulu dilengkapi
dengan jaringan primer dan sekunder prasarana lingkungan sesuai dengan
rencana tata ruang lingkungan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah
Tingkat II dan memenuhi persyaratan pembakuan pelayanan prasarana dan
sarana lingkungan, khusus untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta rencana
tata ruang lingkungannya ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Khusus
Ibukota Jakarta;
9. Lingkungan siap bangun adalah sebidang tanah yang merupakan bagian
dari kawasan siap bangun ataupun berdiri sendiri yang telah dipersiapkan
dan dilengkapi dengan prasarana lingkungan dan selain itu juga sesuai
dengan persyaratan pembakuan tata lingkungan tempat tinggal atau
lingkungan hunian dan pelayanan lingkungan untuk membangun kaveling
tanah matang;
10. Kaveling tanah matang adalah sebidang tanah yang telah dipersiapkan
sesuai dengan persyaratan pembakuan dalam penggunaan, penguasaan,
pemilikan tanah, dan rencana tata ruang lingkungan tempat tinggal atau
lingkungan hunian untuk membangun bangunan;
11. Konsolidasi tanah permukiman adalah upaya penataan kembali
penguasaan, penggunaan, dan pemilikan tanah oleh masyarakat Pemilik
tanah melalui usaha bersama untuk membangun lingkungan siap bangun
dan menyediakan kaveling tanah matang sesuai dengan rencana tata ruang
yang ditetapkan Pemerintah Daerah Tingkat II, khusus untuk Daerah
Khusus Ibukota Jakarta rencana tata ruangnya ditetapkan oleh Pemerintah
Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Pasal 2
(1) Lingkup pengaturan Undang-undang ini meliputi penataan dan
pengelolaan perumahan dari permukiman, baik di daerah perkotaan
maupun di daerah perdesaan, yang dilaksanakan secara terpadu dan
terkoordinasi.
(2) Lingkup Pengaturan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang
menyangkut penataan perumahan meliputi kegiatan pembangunan baru,
pemugaran, perbaikan, perluasan, pemeliharaan, dan pemanfaatannya,
sedangkan yang menyangkut penataan permukiman meliputi kegiatan
pembangunan baru, perbaikan, peremajaan, perluasan, pemeliharaan,
dan pemanfaatannya.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 3
Penataan perumahan dan permukiman berlandaskan pada asas manfaat, adil
dan merata, kebersamaan dan kekeluargaan, kepercayaan pada diri sendiri,
keterjangkauan, dan kelestarian lingkungan hidup.
Pasal 4
Penataan perumahan dan permukiman bertujuan untuk :
a. memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia,
dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat;
b. mewujudkan perumahan dan permukiman yang layak dalam lingkungan
yang sehat, aman, serasi, dan teratur;
c. memberi arah pada pertumbuhan wilayah dan persebaran penduduk yang
rasional;
d. menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan bidangbidang
lain.
BAB III
PERUMAHAN
Pasal 5
(1) Setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati dan/atau
menikmati dan/atau memilik i rumah yang layak dalam lingkungan yang
sehat, aman, serasi, dan teratur.
(2) Setiap warga negara mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk
berperan serta dalam pembangunan perumahan dan permukiman.
Pasal 6
(1) Kegiatan pembangunan rumah atau perumahan dilakukan oleh pemilik hak
atas tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pembangunan rumah atau perumahan oleh bukan pemilik hak atas tanah
dapat dilakukan atas persetujuan dari pemilik hak atas tanah dengan
suatu perjanjian tertulis.
Pasal 7
(1) Setiap orang atau badan yang membangun rumah atau perumahan wajib :
a. mengikuti persyaratan teknis, ekologis, dan administratif;
b. melakukan pemantauan lingkungan yang terkena dampak berdasarkan
rencana pemantauan lingkungan;
c. melakukan pengelolaan lingkungan berdasarkan rencana pengelolaan
lingkungan.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 8
Setiap pemilik rumah atau yang dikuasakannya wajib :
a. memanfaatkan rumah sebagaimana mestinya sesuai dengan fungsinya
sebagai tempat tinggal atau hunian;
b. mengelola dan memelihara rumah sebagaimana mestinya.
Pasal 9
Pemerintah dan badan-badan sosial atau keagamaan dapat menyelenggarakan
pembangunan perumahan untuk memenuhi kebutuhan khusus dengan tetap
memperhatikan ketentuan Undang-undang ini.
Pasal 10
Penghunian, pengelolaan dan pengalihan status dan hak atas rumah yang
dikuasai Negara diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 11
(1) Pemerintah melakukan pendataan rumah untuk menyusun kebijaksanaan
di bidang perumahan dan permukiman.
(2) Tata cara pendataan rumah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 12
(1) Penghunian rumah oleh bukan pemilik hanya sah apabila ada persetujuan
atau izin pemilik.
(2) Penghunian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan baik dengan
cara sewa-menyewa maupun dengan cara bukan sewa-menyewa.
(3) Penghunian rumah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dengan cara
sewa-menyewa dilakukan dengan perjanjian tertulis, sedangkan
penghunian rumah dengan cara bukan sewa-menyewa dapat dilakukan
dengan perjanjian tertulis.
(4) Pihak penyewa wajib menaati berakhirnya batas waktu sesuai dengan
perjanjian tertulis.
(5) Dalam hal penyewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak bersedia
meninggalkan rumah yang disewa sesuai dengan batas waktu yang
disepakati dalam perjanjian tertulis, penghunian dinyatakan tidak sah
atau tanpa hak dan pemilik rumah dapat meminta bantuan instansi
Pemerintah yang berwenang untuk menertibkannya.
(6) Sewa-menyewa rumah dengan perjanjian tidak tertulis atau tertulis tanpa
batas waktu yang telah berlangsung sebelum berlakunya Undang-undang
ini dinyatakan telah berakhir dalam waktu 3 (tiga) tahun setelah
berlakunya Undang-undang ini.
(7) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 13
(1) Pemerintah mengendalikan harga sewa rumah yang dibangun dengan
memperoleh kem udahan dari Pemerintah.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 14
Sengketa yang berkaitan dengan pemilikan dan pemanfaatan rumah
diselesaikan melalui badan peradilan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 15
(1) Pemilikan rumah dapat dijadikan jaminan utang.
(2) a. Pembebanan fidusia atas rumah dilakukan dengan akta otentik yang
dibuat oleh notaris sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
b. Pembebanan hipotek atas rumah beserta tanah yang haknya dimiliki
pihak yang sama dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 16
(1) Pemilikan rumah dapat beralih dan dialihkan dengan cara pewarisan atau
dengan cara pemindahan hak lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pemindahan pemilikan rumah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dengan akta otentik.
Pasal 17
Peralihan hak milik at as satuan rumah susun dilakukan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
BAB IV
PERMUKIMAN
Pasal 18
(1) Pemenuhan kebutuhan permukiman diwujudkan melalui pembangunan
kawasan permukiman skala besar yang terencana secara menyeluruh dan
terpadu dengan pelaksanaan yang bertahap.
(2) Pembangungan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) ditujukan untuk :
a. Menciptakan kawasan permukiman yang tersusun atas satuan-satuan
lingkungan permukiman;
b. Mengintegrasikan secara terpadu dan meningkatkan kualitas
lingkungan perumahan yang telah ada di dalam atau disekitarnya.
(3) Satuan-satuan lingkungan permukiman satu dengan yang lain saling
dihubungkan oleh jaringan transportasi sesuai dengan kebutuhan dengan
kawasan lain yang memberikan berbagai pelayanan dan kesempatan kerja.
(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan rencana tata ruang wilayah perkotaan
dan rencana tata ruang wilayah bukan perkotaan.
Pasal 19
(1) Untuk mewujudkan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18, pemerintah daerah menetapkan satu bagian atau lebih dari
kawasan permukiman menurut rencana tata ruang wilayah perkotaan dan
rencana tata ruang wilayah bukan perkotaan yang telah memenuhi
persyaratan sebagai kawasan siap bangun.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya
meliputi penyediaan :
a. rencana tata ruang yang rinci;
b. data mengenai luas, batas, dan pemilikan tanah
c. jaringan primer dan sekunder prasarana lingkungan.
(3) Program pembangunan daerah dan program pembangunan sektor
mengenai prasarana, sarana lingkungan, dan utilitas umum sebagian
diarahkan untuk mendukung terwujudnya kawasan siap bangun
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 20
(1) Pengelolaan kawasan siap bangun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh Pemerintah.
(2) Penyelenggaraan pengelolaan kawasan siap bangun sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan oleh badan usaha milik Negara dan/atau badan
lain yang dibentuk oleh Pemerintah yang ditugasi untuk itu.
(3) Pembentukan badan lain serta penunjukkan badan usaha milik negara
dan/atau badan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
(4) Dalam menyelenggarakan pengelolaan kawasan siap bangun, badan usaha
milik negara atau badan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan
ayat (3) dapat bekerjasama dengan badan usaha milik negara, badan
usaha milik daerah, koperasi, dan badan-badan usaha swasta di bidang
pembangunan perumahan.
(5) Kerjasama sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak menghilangkan
wewenang dan tanggungjawab badan usaha milik negara atau badan lain
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(6) Persyaratan dan tata cara kerjasama sebagaimana dimaksud dalam ayat
(4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 21
(1) Penyelenggaraan pengelolaan lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri
yang bukan dilakukan oleh masyarakat pemilik tanah, dilakukan oleh
badan usaha di bidang pembangunan perumahan yang ditunjuk oleh
Pemerintah.
(2) Tata cara penunjukkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 22
(1) Di wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan siap bangun Pemerintah
memberikan penyuluhan dan bimbingan, bantuan dan kemudahan kepada
masyarakat pemilik tanah sehingga bersedia dan mampu melakukan
konsolidasi tanah dalam rangka penyediaan kaveling tanah matang.
(2) Pelepasan hak atas tanah di wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan siap
bangun hanya dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan pemilik tanah
yang bersangkutan.
(3) Pelepasan hak atas tanah di lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri
yang bukan hasil konsolidasi tanah oleh masyarakat pemilik tanah, hanya
dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan dengan pemilik hak atas tanah.
(4) Pelepasan hak atas tanah di wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan siap
bangun yang belum berwujud kaveling tanah matang, hanya dapat
dilakukan kepada Pemerintah melalui badan-badan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 ayat (2).
(5) Tata cara pelepasan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
ayat (3), dan ayat (4), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 23
Pembangunan perumahan yang dilakukan oleh badan usaha di bidang
pembangunan perumahan dilakukan hanya di kawasan siap bangun atau di
lingkungan siap bangun yang berdiri sendiri.
Pasal 24
Dalam membangun lingkungan siap bangun selain memenuhi ketentuan pada
Pasal 7, badan usaha dibidang pembangunan perumahan wajib :
a. melakukan pematangan tanah, penataan penggunaan tanah, penataan
penguasaan tanah, dan penataan pemilikan tanah dalam rangka
penyediaan kaveling tanah matang;
b. membangun jaringan prasarana lingkungan mendahului kegiatan
membangun rumah, memelihara, dan mengelolanya sampai dengan
pengesahan dan penyerahannya kepada pemerintah daerah;
c. mengkoordinasikan penyelenggaraan penyediaan utilitas umum;
d. membanlu masyarakat pemilik tanah yang tidak berkeinginan melepaskan
hak atas tanah di dalam atau di sekitarnya dalam melakukan konsolidasi
tanah;
e. melakukan penghijauan lingkungan;
f. menyediakan tanah untuk sarana lingkungan;
g. membangun rumah.
Pasal 25
(1) Pembangunan lingkungan siap bangun yang dilakukan masyarakat pemilik
tanah melalui konsolidasi tanah dengan memperhatikan ketentuan pada
Pasal 7, dapat dilakukan secara bertahap yang meliputi kegiatan -
kegiatan :
a. pematangan tanah;
b. penataan, penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah;
c. penyediaan prasarana lingkungan;
d. penghijauan lingkungan;
e. pengadaan tanah untuk sarana lingkungan.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 26
(1) Badan usaha di bidang pembangunan perumahan yang membangun
lingkungan siap bangun dilarang menjual kaveling tanah matang tanpa
rumah.
(2) Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 24, sesuai dengan kebutuhan
setempat, badan usaha di bidang pembangunan perumahan yang
membangun linkungan siap bangun dapat menjual kaveling tanah matang
ukuran kecil dan sedang tanpa rumah.
(3) Kaveling tanah matang ukuran kecil, sedang, menengah, dan besar hasil
upaya konsolidasi tanah milik masyarakat dapat diperjualbelikan tanpa
rumah.
Pasal 27
(1) Pemerintah memberikan bimbingan, bantuan dan kemudahan kepada
masyarakat baik dalam tahap perencanaan maupun dalam tahap
pelaksanaan, serta melakukan pengawasan dan pengendalian untuk
meningkatkan kualitas permukiman.
(2) Peningkatan kualitas permukiman sebagaimana dimaksud dalam ayal (1)
berupa kegiatan-kegiatan :
a. perbaikan atau pemugaran;
b. peremajaan;
c. pengelolaan dan pemeliharaan yang berkelanjutan.
(3) Penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 28
(1) Pemerintah daerah dapat menetapkan suatu lingkungan permukiman
sebagai permukiman kumuh yang tidak layak huni.
(2) Pemerintah daerah bersama-sama masyarakat mengupayakan langkahlangkah
pelaksanaan program peremajaan lingkungan kumuh untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat penghuni.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Pemerintah
BAB V
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 29
(1) Setiap warga negara mempunyai hak dan kesempatan yang sama dan
seluas-luasnya untuk berperan serta dalam pembangunan perumahan dan
permukiman.
(2) Pelaksanaan peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dapat dilakukan secara perseorangan atau dalam bentuk usaha
bersama.
BAB VI
PEMBINAAN
Pasal 30
(1) Pemerintah melakukan pembinaan di bidang perumahan dan permukiman
dalam bentuk pengaturan dan pembimbingan, pemberian bantuan dan
kemudahan, penelitian dan pengembangan, perencanaan dan
pelaksanaan, serta pengawasan dan pengendalian.
(2) Pemerintah melakukan pembinaan badan usaha di bidang perumahan dan
permukiman.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 31
Pembangunan perumahan dan permukiman diselenggarakan berdasarkan
rencana tata ruang wilayah perkotaan dan rencana tata ruang wilayah bukan
perkotaan yang menyeluruh dan terpadu yang ditetapkan oleh pemerintah
daerah dengan mempertimbangkan berbagai aspek yang terkait serta rencana,
program, dan priorilas pembangunan perumahan dan permukiman.
Pasal 32
(1) Penyediaan tanah untuk pembangunan perumahan dan permukiman
diselenggarakan dengan:
a. penggunaan tanah yang langsung dikuasai Negara;
b. konsolidasi tanah oleh pemilik tanah;
c. pelepasan hak atas tanah oleh pemilik tanah yang dilakukan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Tata cara penggunaan tanah yang langsung dikuasai Negara dan tatacara
konsolidasi tanah oleh pemilik tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) butir a dan b diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 33
(1) Untuk memberikan bantuan dan/atau kemudahan kepada masyarakat
dalam membangun rumah sendiri atau memiliki rumah, Pemerintah
melakukan upaya pemupukan dana.
(2) Bantuan dana/atau kemudahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berupa kredit perumahan.
Pasal 34
Pemerintah memberikan pembinaan agar penyelenggaraan pembangunan
perumahan dan permukiman selalu memanfaatkan teknik dan teknologi,
industri bahan bangunan, jasa konstruksi, rekayasa dan rancang bangun yang
tepat guna dan serasi dengan lingkungan.
Pasal 35
(1) Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan di bidang perumahan dan
permukiman kepada pemerintah daerah.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 36
(1) Setiap orang atau badan dengan sengaja melanggar ketentuan dalam Pasal
7 ayat (1), Pasal 24, dan Pasal 26 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
selama-lamanya 10 (seputuh) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp.
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Setiap orang karena kelalaiannya mengakibatkan pelanggaran atas
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dipidana dengan
pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun dan/atau denda setinggitingginya
Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).
(3) Setiap badan karena kelalaiannya mengakibatkan pelanggaran atas
ketenluan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 24 Pasal 26
ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun
dan/atau denda setinggi-tingginya Rp.100.000.000.00(seratus juta rupiah).
(4) Setiap orang atau badan dengan sengaja melanggar ketentuan dalam pasal
12 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun
dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 20.000.000,00 (duapuluh juta
rupiah).
Pasal 37
Setiap orang atau badan dengan sengaja melanggar ketentuan harga tertinggi
sewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dipidana dengan pidana penjara
selama-lamanya 2 (dua) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 20.000.000,00
(dua puluh juta rupiah).
BAB VIII
KETENTUAN LAIN-IAIN
Pasal 38
Penerapan ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 tidak
menghilangkan kewajibannya untuk tetap memenuhi ketentuan Undang-undang
ini.
Pasal 39
Jika kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 tidak dipenuhi oleh suatu
badan usaha di bidang pembangunan perumahan dan permukiman, maka izin
usaha badan tersebut dicabut.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 40
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, semua peraturan pelaksanaan
di bidang perumahan dan permukiman yang telah ada tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dengan Undang-undang ini atau belum diganti atau diubah
berdasarkan Undang-undang ini.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 41
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, Undang-undang nomor 1
Tahun 1964 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang nomor 6
tahun 1962 tentang Pokok-pokok perumahan (Lembaran Negara Tahun 1962
Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2476) menjadi Undang-undang
(Lembaran Negara Tahun 1964 nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2611) dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 42
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan penerapannya
diatur dengan Peraturan Pemerintah selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sejak
Undang-undang ini diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undangundang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 10 Maret t992
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd.
S O E H A R T O
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 10 Maret 1992
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd.
MOERDIONO
Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 23
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Hukum
dan Perundang-undangan
ttd.
Bambang Kesowo, S.H., LL.M.

uu no 24 tahun 1992

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 1992
TENTANG
PENATAAN RUANG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :

a. bahwa ruang wilayah Negara kesatuan Republik Indonesia sebagai karunia
Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia dengan letak dan kedudukan
yang strategis sebagai Negara kepulauan dengan keanekaragaman
ekosistemnya merupakan sumber daya alam yang perlu disyukuri, dilindungi,
dan dikelola untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional sebagai
pengama lan Pancasila;
b. bahwa pengelolaan sumber daya alam yang beraneka ragam di daratan, di
lautan, dan di udara perlu dilakukan secara terkoordinasi dan terpadu dengan
sumber daya manusia dan sumber daya buatan dalam pola pembangunan yang
berkelanjutan dengan mengembangkan tata ruang dalam satu kesatuan tata
lingkungan yang dinamis serta tetap memelihara kelestarian kemampuan
lingkungan hidup sesuai dengan pembangunan berwawasan lingkungan, yang
berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional;
c. bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemanfaatan
ruang belum menampung tuntutan perkembangan pembangunan, sehingga
perlu ditetapkan undang-undang tentang penataan ruang;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang
Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria (Lembaga Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2043);
3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di
Daerah (Lembaga Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3037);
4. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaga Negara Tahun 1982 Nomor 12,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
5. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia (Lembaga Negara Tahun
1982 Nomor 51. Tambahan Lembaran Negara Nomor 3234), sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1988 (Lembaran Negara Tahun
1988 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3368);


Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PENATAAN RUANG.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang
udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya
hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.
2. Tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik
direncanakan maupun tidak.
3. Penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang,
dan pengendalian pemanfaatan ruang.
4. Rencana tata ruang adalah hasil pere ncanaan tata ruang.
5. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap
unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek
administratif dan atau aspek fungsional.
6. Kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung atau budi daya.
7. Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam
dan sumber daya buatan.
8. Kawasan budi daya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama
untuk dibudidayakan atas dasat kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber
daya manusia, dan sumber daya buatan.
9. Kawasan perdesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama
pertanian termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi
kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa
pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
10. Kawasan perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan
pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman
perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan
sosial, dan kegiatan ekonomi.
11. Kawasan tertentu adalah kawasan yang ditetapkan secara nasional mempunyai
nilai strategis yang penataan ruangnya diprioritaskan.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Penataan ruang berasaskan :
a. pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna dan
berhasil guna, serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan;
b. keterbukaan, persamaan, keadilan, dan perlindungan hukum.
Pasal 3
Penataan ruang bertujuan :
a. terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan yang
berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional;
b. terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan
kawasan budi daya;
c. tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas untuk :
1) mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas, berbudi luhur, dan sejahtera;
2) mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan
sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia;
3) meningkatkan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya buatan
secara berdaya guna, berhasil guna, dan tepat guna untuk meningkatkan
kualitas sumber daya manusia;
4) mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta
menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan;
5) mewujudkan keseimbangan kepentingan kesejahteraan dan keamanan.
BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN
Pasal 4
(1) Setiap orang berhak menikmati manfaat ruang termasuk pertambahan nilai
ruang sebagai akibat penataan ruang.
(2) Setiap orang berhak untuk :
a. mengetahui rencana tata ruang;
b. berperan serta dalam penyusunan rencana tata ruang, pemanfaatan ruang,
dan pengendalian pemanfaatan ruang;
c. memperoleh penggantian yang layak atas kondisi yang dialaminya sebagai
akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana
tata ruang.
Pasal 5
(1) Setiap orang berkewajiban berperan serta dalam memelihara kualitas ruang.
(2) Setiap orang berkewajiban menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan.
Pasal 6
Ketentuan mengenai pelaksanaan hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 dan Pasal 5 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IV
PERENCANAAN, PEMANFAATAN, DAN PENGENDALIAN
Bagian Pertama
U m u m
Pasal 7
(1) Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan meliputi kawasan lindung
dan kawasan budi daya.
(2) Penataan ruang berdasarkan aspek administratif meliputi ruang wilayah
Nasional, wilayah Propinsi Daerah Tingkat I, dan wilayah Kabupaten/
Kotamadya Daerah Tingkat II.
(3) Penataan ruang berdasarkan fungsi kawasan dan aspek kegiatan meliputi
kawasan pedesaan, kawasan perkotaan, dan kawasan tertentu.
Pasal 8
(1) Penataan ruang wilayah Nasional, wilayah Propinsi Daerah Tingkat I, dan
wilayah Kabupaten/ Kotamadya Daerah Tingkat II dilakukan secara terpadu
dan tidak dipisah-pisahkan.
(2) Penataan ruang untuk kawasan yang meliputi lebih dari satu wilayah Propinsi
Daerah Tingkat I dikoordinasikan penyusunannya oleh Menteri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 ayat
(1) untuk kemudian dipadukan ke dalam
Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I yang bersangkutan.
(3) Penataan ruang untuk kawasan yang meliputi lebih dari satu wilayah
Kabupaten/ Kotamadya Daerah Tingkat II dikoordinasikan penyusunannya oleh
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I untuk kemudian dipadukan ke dalam
Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/ Kotamadya Daerah Tingkat II yang
bersangkutan.
Pasal 9
(1) Penataan ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I dan wilayah Kabupaten/
Kotamadya Daerah Tingkat II, disamping meliputi ruang daratan, juga
mencakup ruang lautan dan ruang udara sampai batas tertentu yang diatur
dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Penataan ruang lautan dan ruang udara diluar sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diatur secara terpusat dengan Undang-undang.
Pasal 10
(1) Penataan ruang kawasan perdesaan, penataan ruang kawasan perkotaan, dan
penataan ruang kawasan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(3) diselenggarakan sebagai bagian dari penataan ruang wilayah Nasional atau
wilayah Propinsi Daerah Tingkat I atau wilayah Kabupaten/ Kotamadya Daerah
Tingkat II.
(2) Penataan ruang kawasan perdesaan dan penataan ruang kawasan perkotaan
diselenggarakan untuk :
a. mencapai tata ruang kawasan perdesaan dan kawasan perkotaan yang
optimal, serasi, selaras, dan seimbang dalam pengembangan kehidupan
manusia;
b. meningkatkan fungsi kawasan perdesaan dan fungsi kawasan perkotaan
secara serasi, selaras, dan seimbang antara perkembangan lingkungan
dengan tata kehidupan masyarakat;
c. mengatur pemanfaatan ruang guna meningkatkan kemakmuran rakyat dan
mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan alam,
lingkungan buatan, dan lingkungan sosial.
(3) Penataan ruang kawasan tertentu diselenggarakan untuk :
a. mengembangkan tata ruang kawasan yang strategis dan diprioritas dalam
rangka penataan ruang wilayah Nasional atau wilayah Propinsi Propinsi
Daerah Tingkat I atau wilayah Kabupaten/ Kotamadya Daerah Tingkat II;
b. meningkatkan fungsi kawasan lindung dan fungsi kawasan budi daya;
c. mengatur pemanfaatan ruang guna meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan pertahanan keamanan.
(4) Pengelolaan kawasan tertentu diselenggarakan oleh Pemerintah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 11
Penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10
dilakukan dengan memperhatikan :
a. lingkungan alam, lingkungan buatan, lingkungan sosial, dan interaksi antar
lingkungan;
b. tahapan, pembiayaan, dan pengelolaan pembangunan, serta pembinaan
kemampuan kelembagaan.
Pasal 12
(1) Penataan ruang dilakukan oleh Pemerintah dengan peran serta masyarakat.
(2) Tata cara dan bentuk peran serta masyarakat dalam penataan ruang
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Perencanaan
Pasal 13
(1) Perencanaan tata ruang dilakukan melalui proses dan prosedur penyusunan
serta penetapan rencana tata ruang berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(2) Rencana tata ruang ditinjau kembali dan atau disempurnakan sesuai dengan
jenis perencanaannya secara berkala.
(3) Peninjauan kembali dan atau penyempurnaan rencana tata ruang sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dilakukan dengan tetap memperhatikan ketentuan
Pasal 24 ayat (3).
(4) Ketentuan mengenai kriteria dan tata cara peninjauan kembali dan atau
penyempurnaan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 14
(1) Perencanaan tata ruang dilakukan dengan mempertimbangkan :
a. Keserasian, keselarasan, dan keseimbangan fungsi budi daya dan fungsi
lindung, dimensi waktu, teknologi, sosial budaya, serta fungsi pertahanan
keamanan;
b. Aspek pengelolaan secara terpadu berbagai sumber daya, fungsi dan
estetika lingkungan, serta kualitas ruang.
(2) Perencanaan tata ruang mencakup perencanaan struktur dan pola pemanfaatan
ruang, yang meliputi tata guna air, tata guna udara, dan tata guna sumber
daya alam lainnya.
(3) Perencanaan tata ruang yang berkaitan dengan fungsi pertahanan keamanan
sebagai subsistem perencanaan tata ruang, tata cara penyusunannya diatur
dengan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Pemanfaatan
Pasal 15
(1) Pemanfaatan ruang dilakukan melalui pelaksanaan program pemanfaatan ruang
beserta pembiayaannya, yang didasarkan atas rencana tata ruang.
(2) Pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan
secara bertahap sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam rencana
tata ruang.
Pasal 16
(1) Dalam pemanfaatan ruang dikembangkan :
a. pola pengelolaan tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara, dan tata
guna sumber daya alam lainnya sesuai dengan asas penataan ruang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2;
b. perangkat yang bersifat insentif dan disinsentif dengan menghormati hak
penduduk sebagai warganegara.
(2) Ketentuan mengenai pola pengelolaan tata guna tanah, tata guna air, tata guna
udara dan tata guna sumber daya alam lainnya sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) butir a, diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Pengendalian
Pasal 17
Pengendalian pemanfaatan ruang diselenggarakan melalui kegiatan pengawasan dan
penertiban tentang pemanfaatan ruang.
Pasal 18
(1) Pengawasan terhadap pemanfaatan ruang diselenggarakan dalam bentuk
pelaporan, pemantauan, dan evaluasi.
(2) Penerbitan terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata
ruang diselenggarakan dalam bentuk pengenaan sanksi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB V
RENCANA TATA RUANG
Pasal 19
(1) Rencana tata ruang dibedakan atas :
a. Rencana Tata Ruang wilayah Nasional;
b. Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I;
c. Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/ Kotamadya Daerah Tingkat II.
(2) Rencana tata ruang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digambarkan dalam
peta wilayah Negara Indonesia, peta wilayah Propinsi Daerah Tingkat I, peta
wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II, dan peta wilayah Kotamadya Daerah
Tingkat II, yang tingkat ketelitiannya diatur dalam peraturan perundangundangan.
Pasal 20
(1) Rencana Tata Ruang wilayah Nasional merupakan strategi dan arahan
kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah Negara, yang meliputi :
a. tujuan nasional dari pemanfaatan ruang untuk peningkatan kesejahteraan
masyarakat dan pertahanan keamanan;
b. struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah nasional;
c. kriteria dan pola pengelolaan kawasan lindung, kawasan budi daya, dan
kawasan tertentu.
(2) Rencana Tata Ruang wilayah Nasional berisi :
a. penetapan kawasan lindung, kawasan budi daya, dan kawasan tertentu
yang ditetapkan secara nasional;
b. norma dan kriteria pemanfaatan ruang;
c. pedoman pengendalian pemanfaatan ruang.
(3) Rencana Tata Ruang wilayah Nasional menjadi pedoman untuk :
a. perumusan kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang di wilayah nasional;
b. mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan
antar wilayah serta keserasian antar sektor;
c. pengarahan lokasi investasi yang dilaksanakan Pemerintah dan atau
masyakarat;
d. penataan ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I dan wilayah Kabupaten/
Kotamadya Daerah Tingkat II.
(4) Jangka waktu Rencana Tata Ruang wilayah Nasional adalah 25 tahun.
(5) Rencana Tata Ruang wilayah Nasional ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 21
(1) Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I merupakan penjabaran
strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah nasional ke
dalam strategi dan struktur pemanfaatan ruang wilayah Propinsi Daerah
Tingkat I, yang meliputi :
a. tujuan pemanfaatan ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I untuk
peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan;
b. struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I;
c. pedoman pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat
I;
(2) Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Dae rah Tingkat I berisi :
a. arahan pengelolaan kawasan lindung dan kawasan budi daya;
b. arahan pengelolaan kawasan perdesaan, kawasan perkotaan, dan kawasan
tertentu;
c. arahan pengembangan kawasan permukiman, kehutanan, pertanian,
pertambangan, perindustrian, pariwisata dan kawasan lainnya;
d. arahan pengembangan sistem pusat permukiman perdesaan dan perkotaan;
e. arahan pengembangan sistem prasarana wilayah yang meliputi prasarana
transportasi, telekomunikasi, energi, pengairan, dan prasarana pengelolaan
lingkungan;
f. arahan pengembangan kawasan yang diprioritaskan;
g. arahan kebijaksanaan tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara, dan
tata guna sumber daya alam lainnya, serta memperhatikan keterpaduan
dengan sumber daya manusia dan sumber daya buatan.
(3) Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I menjadi pedoman
untuk:
a. perumusan kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang di wilayah Propinsi
Daerah Tingkat I;
b. mewujudkan keterpaduan, keterikatan, dan keseimbangan perkembangan
antar wilayah Propinsi Daerah Tingkat I serta keserasian antar sektor;
c. pengarahan lokasi investasi yang dilaksanakan Pemerintah dan atau
masyarakat;
d. penataan ruang wilayah Kabupaten/kotamadya Daerah Tingkat II yang
merupakan dasar dalam pengawasan terhadap perizinan lokasi
pembangunan.
(4) Jangka waktu Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I adalah 15
tahun.
(5) Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I ditetapkan dengan
peraturan daerah.
Pasal 22
(1) Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II
merupakan penjabaran Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I
ke dalam strategi pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten/
Kotamadya Daerah Tingkat II, yang meliputi :
a. tujuan pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten/ Kotamadya Daerah Tingkat
II untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan;
b. rencana struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten/
Kotamadya Daerah Tingkat II;
c. rencana umum tata ruang wilayah Kabupaten/ Kotamadya Daerah Tingkat
II;
d. pedoman pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten/ Kotamadya
Daerah Tingkat II;
(2) Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II berisi :
a. pengelolaan kawasan lindung dan kawasan budi daya;
b. pengelolaan kawasan perdesaan, kawasan perkotaan, dan kawasan
tertentu;
c. sistem kegiatan pembangunan dan sistem permukiman perdesaan dan
perkotaan;
d. sistem prasarana transportasi, telekomunikasi, energi, pengairan, dan
prasarana pengelolaan lingkungan;
e. penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan udara, dan
penatagunaan sumber daya alam lainnya, serta memperhatikan
keterpaduan dengan sumber daya manusia dan sumber daya buatan.
(3) Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II menjadi
pedoman untuk :
a. perumusan kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten/
Kotamadya Daerah Tingkat II;
b. mewujudkan keterpaduan, keterikatan, dan keseimbangan perkembangan
antar wilayah Kabupaten/ Kotamadya Daerah Tingkat II serta keserasian
antar sektor;
c. penerapan lokasi investasi yang dilaksanakan Pemerintah dan atau
masyarakat di Kabupaten/ Kotamadya Daerah Tingkat II;
d. penyusunan rencana rinci tata ruang di Kabupaten/ Kotamadya Daerah
Tingkat II;
e. pelaksanaan pembangunan dala m memanfaatkan ruang bagi kegiatan
pembangunan.
(4) Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II menjadi
dasar untuk penerbitan perizinan lokasi pembangunan.
(5) Jangka waktu Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah
Tingkat II adalah 10 tahun.
(6) Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II
ditetapkan dengan peraturan daerah.
Pasal 23
(1) Rencana tata ruang kawasan perdesaan dan rencana tata ruang kawasan
perkotaan merupakan bagian dari Rencana Tata Ruang wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.
(2) Rencana tata ruang kawasan tertentu dalam rangka penataan ruang wilayah
nasional merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Rencana Tata Ruang
wilayah Propinsi Daerah Tingkat I dan atau Rencana Tata Ruang wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang ditetapkan dengan Keputusan
Presiden.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan kawasan, pedoman, tata cara, dan
lain-lain yang diperlukan bagi penyusunan rencana tata ruang kawasan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB VI
WEWENANG DAN PEMBINAAN
Pasal 24
(1) Negara menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat yang pelaksanaannya dilakukan oleh Peme rintah.
(2) Pelaksanaan penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
memberikan wewenang kepada Pemerintah untuk :
a. mengatur dan menyelenggarakan penataan ruang;
b. mengatur tugas dan kewajiban instansi pemerintah dalam penataan ruang.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dala ayat (2) dilakukan dengan
tetap menghormati hak yang dimiliki orang.
Pasal 25
Pemerintah menyelenggarakan pembinaan dengan :
a. mengumumkan dan menyebarluaskan rencana tata ruang kepada masyarakat;
b. menumbuhkan serta mengembangkan kesadaran dan tanggungjawab
masyarakat melalui penyuluhan, bimbingan, pendidikan, dan pelatihan.
Pasal 26
(1) Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang wilayah
Kabupaten/ Kotamadya Daerah Tingkat II yang ditetapkan berdasarkan
undang-undang ini dinyatakan batal oleh Kepala Daerah yang bersangkutan.
(2) Apabila izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibuktikan telah
diperoleh dengan iktikad baik, terhadap kerugian yang timbul sebagai akibat
pembatalan izin tersebut dapat dimintakan penggantian yang layak.
Pasal 27
(1) Gubernur Kepala Daerah Tingkat I menyelenggarakan penataan ruang wilayah
Propinsi Daerah Tingkat I.
(2) Untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, pelaksanaan penataan ruang dilakukan
Gubernur Kepala Daerah dengan memperhatikan pertimbangan dari
Departemen, Lembaga, dan Badan-badan Pemerintah lainnya serta koordinasi
dengan Daerah sekitarnya, sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 11
Tahin 1990 tentang Susunan Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Negara
Republik Indonesia Jakarta.
(3) Apabila dalam penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2) terdapat hal-hal yang tidak dapat diselesaikan di wilayah
Propinsi Daerah Tingkat I, maka diperlukan pertimbangan dan persetujuan
Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1).
Pasal 28
(1) Bupati/ Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II menyelenggarakan penataan
ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.
(2) Apabila dalam penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) terdapat hal-hal yang tidak dapat diselesaikan di wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II, maka diperlukan pertimbangan dan
persetujuan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.
Pasal 29
(1) Presiden menunjuk seorang Menteri yang bertugas mengkoordinasikan
penataan ruang.
(2) Tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) termasuk
pengendalian perubahan fungsi ruang suatu kawasan dan pemanfaatannya
yang berskala besar dan berdampak penting.
(3) Perubahan fungsi ruang suatu kawasan dan pemanfaatannya sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan setelah berkonsultasi dengan Dewan
Perwakilan Rakyat.
(4) Penetapan mengenai perubahan fungsi ruang sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) menjadi dasar dalam peninjauan kembali Rencana Tata Ruang wilayah
Propinsi Daerah Tingkat I dan Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/
Kotamadya Daerah Tingkat II.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 30
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini semua peratura n perundangundangan
yang berkaitan dengan penataan ruang yang telah ada tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dan belum berdasarkan Undang-undang ini.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 31
Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka Ordonansi Pembentukan Kota
(Stadvormingsordonantie Staatblad Tahun 1948 Nomor 168, keputusan letnan
Gubernur jenderal tanggal 23 Juli 1948 no. 13) dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 32
Undang-undang ini berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


Disahkan di Jakarta
pada tanggal 13 Oktober 1992
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
S O E H A R T O
Diundangkan di Jakarta
pada tangal 13 Oktober 1992
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd.
M O E R D I O N O

Minggu, 16 Oktober 2011

HUKUM PRANATA ARSITEKTUR

kode etik arsitek

Kaidah Dasar 2
Kewajiban Terhadap Masyarakat
Para arsitek memiliki kewajiban kemasyarakatan untuk mendalami semangat dan inti hukum–hukum serta peraturan terkait, dan bersikap mendahulukan kepentingan masyarakat umum.

Standar Etika 2.1
Tata Laku
Arsitek wajib menjunjung tinggi tatanan hukum dan peraturan terkait dalam menjalankan kegiatan profesinya.

Kaidah Tata Laku 2.101
Dalam menjalankan kegiatan profesinya, arsitek mematuhi hukum serta tunduk pada kode etik dan kaidah tata laku profesi, yang berlaku di Indonesia dan di negara tempat mereka bekerja. Arsitek tidak dibenarkan bertindak ceroboh dan mencemarkan integritas dan kepentingan profesi.

Kaidah Tata Laku 2.102
Arsitek tidak akan menyampaikan maupun mempromosikan dirinya atau jasa profesionalnya secara menyesatkan, tidak benar, atau menipu. Arsitek tidak dibenarkan untuk memasang iklan atau sarana promosi yang menyanjung atau memuji diri sendiri, apalagi yang bersifat menyesatkan dan mengambil bagian dari kegiatan publikasi dengan imbal jasa, yang mempromosikan/merekomendasikan bahan–bahan bangunan atau perlengkapan/peralatan bangunan.


Kaidah Tata Laku 2.103
Arsitek tidak dibenarkan terlibat dalam pekerjaan yang bersifat penipuan atau yang merugikan kepentingan pihak lain.

Kaidah Tata Laku 2.104
Arsitek tidak dibenarkan menawarkan/menjanjikan dan atau memberikan uang atau pemberian lain kepada seseorang atau pihak-pihak tertentu yang bertujuan memperoleh proyek yang diminati.

Kaidah Tata Laku 2.105
Apabila dalam proses pengerjaan proyeknya, arsitek mengetahui bahwa keputusan yang diambil oleh pengguna jasa melanggar atau bertentangan dengan hukum serta kaidah yang berlaku, dan mengancam keselamatan masyarakat umum, maka arsitek wajib:

Mengingatkan dan menyarankan pengguna jasa agar mempertimbangkan kembali keputusannya.
Menolak pelaksanaan keputusan tersebut
Melaporkan perkara ini kepada pihak berwewenang yang berfungsi sebagai pengawas bangunan atau petugas lain yang terkait untuk meninjau kembali, terkecuali arsitek penerima tugas dapat memberikan jalan keluar pemecahan lain.

Standar Etika 2.2
Pelayanan Untuk Kepentingan Masyarakat Umum
Arsitek selayaknya melibatkan diri dalam berbagai kegiatan masyarakat, sebagai bentuk pengabdian profesinya, terutama dalam membangun pemahaman masyarakat akan arsitektur, fungsi, dan tanggung jawab arsitek.


Arsitektur adalah ilmu pengetahuan yang membahas tentang keterkaitan antara manusia dengan lingkungan binaan-nya, dan ruang adalah wujud manifestasi dari manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Ada tiga aspek penting dalam arsitektur, yaitu :
firmitas (kekuatan atau konstruksi),
utilitas (kegunaan atau fungsi), dan
venusitas (keindahan atau estetika).

Hukum Pranata Pembangunan
• Penjelasan

1. Pranata ialah interaksi antar individu atau kelompok atau kumpulan. Pengertian individu dalam satu kelompok dan pengertian individu dalam satu perkumpulan memiliki makna yang berbeda menurut F. Durkheim, yaitu, dasar organisasi individu dalam kelompok adalah adat-istiadat, sedangkan dasar organisasi individu dalam perkumpulan adalah organisasi buatan. Hubungan yang terjadi dalam satu kelompok didasarkan perorangan, sedangkan dalam kumpulan kelompok adalah berazasguna sangat tergantung dengan tujuan akhir yang sering dinyatakan dalam kontrak. Kontrak adalah sebagai parameter hubungan yang terjadi dalam proses kegiatan pembangunan. Hubungan antara pemilik dengan perancang, hubungan antara pemilik dengan pelaksana. Kontrak menunjukan hubungan yang bersifat independent dan terarah atas tanggungjawab dari tugas dan fungsinya

2. Pembangunan ialah suatu proses perubahan individu/kelompok dalam kerangka mewujudkan peningkatan kesejahteraan hidup, yang juga sebagai pradigma perkembangan yang terjadi dengan berjalannya perubahan peradaban hidup manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Kegiatan pembangunan memiliki empat unsur pokok, adalah manusia, kekayaan alam, modal, dan teknologi. Pembangunan sebagai suatu sistem yang kompleks mengalami proses perubahan dari yang sederhana sampai dengan yang rumit/kompleks. Proses perubahan tersebut mengalami perkembangan perubahan cara pandang, beberapa cara pandang tersebut adalah pertumbuhan, perubahan strukutr, ketergantungan, pendekatan sistem, dan penguasaan teknologi. Dapat disimpulkan bahwa, pranata pembangunan bidang arsitektur merupakan interaksi/hubungan antar individu/kelompok dalam kumpulan dalam kerangka mewujudkan lingkungan binaan. Interaksi ini didasarkan hubungan kontrak. Analogi dari pemahaman tersebut dalam kegiatan yang lebih detil adalah interaksi antar pemilik/perancang/pelaksana dalam rangka mewujudkan ruang/bangunan untuk memenuhi kebutuhan bermukim. Dalam kegiatannya didasarkan hubungan kontrak, dan untuk mengukur hasilnya dapat diukur melalui kriteria barang public. Pranata dibidang arsitektur dapat dikaji melalui pendekatan system, karena fenomena yang ada melibatkan banyak pihak dengan fungsi yang berbeda sehingga menciptakan anomali yang berbeda juga sesuai dengan kasus masing-masing. Didalam proses membentuk ruang dari akibat kebutuhan hidup manusia, Pranata pembangunan sebagai suatu sistem disebut juga sebagai sekumpulan aktor/stakeholder dalam kegiatan membangun (pemilik, perencana, pengawas, dan pelaksana) yang merupakan satu kesatuan tak terpisahkan dan memiliki keterkaitan satu dengan yang lain serta memiliki batas-batas yang jelas untuk mencapai satu tujuan.

HUKUM DAN PRANATA PEMBANGUNAN UNDANG - UNDANG NO.4 tahun 1992 tentang Perumahan & Pemukiman. Dalam Undang - Undang ini terdapat 10 BAB (42 pasal) antara lain yang mengatur tentang :
1. Ketentuan Umum ( 2 pasal )
2. Asas dan Tujuan (2 pasal )
3. Perumahan ( 13 pasal )
4. Pemukiman ( 11 pasal )
5. Peran Serta Masyarakat ( 1 pasal )
6. Pembinaan (6 pasal )
7. Ketentuan Piadana ( 2 pasal )
8. Ketentuan Lain - lain ( 2 pasal )
9. Ketentuan Peralihan ( 1 pasal )
10. Ketentuan Penutup ( 2 pasal )

Pada Bab 1 berisi antara lain :
1. Fungsi dari rumah
2. Fungsi dari Perumahan
3. Apa itu Pemukiman baik juga fungsinya
4. Satuan lingkungan pemukiman
5. Prasarana lingkungan
6. Sarana lingkungan
7. Utilitas umum
8. Kawasan siap bangun
9. Lingkungan siap bangun
10. Kaveling tanah matang
11. Konsolidasi tanah permukiman

Bab 2 Asas dan Tujuan, isi dari bab ini antara lain : Penataan perumahan dan permukiman berlandaskan pada asas manfaat, adil dan merata, kebersamaan dan kekeluargaan, kepercayaan pada diri sendiri, keterjangkauan, dan kelestarian lingkungan hidup.

Tujuan penataan perumahaan dan pemukiman :
• Memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia, dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat
• Mewujudkan perumahan dan permukiman yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur
• Memberi arah pada pertumbuhan wilayah dan persebaran penduduk yang rasional
• menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan bidangbidang lain.

Bab 3 Perumahan, isi bab ini antara lain :
• hak untuk menempati /memiliki rumah tinggal yang layak
• kewajiban dan tanggung jawab untuk pembangunan perumahan dan pemukiman
• pembangunan dilakukan oleh pemilik hak tanah saja
• pembangunan yang dilakukan oleh bukan pemilik tanah harus dapat persetuan dari pemilik tanah / perjanjian
• kewajiban yang harus dipenuhi oleh yang ingin membangun rumah / perumahan
• pengalihan status dan hak atas rumah yang dikuasai Negara
• Pemerintah mengendalikan harga sewa rumah
• Sengketa yang berkaitan dengan pemilikan dan pemanfaatan rumah diselesaikan melalui badan peradilan
• Pemilikan rumah dapat beralih dan dialihkan dengan cara pewarisan
• dll

Bab 4 Permukiman, isi bab ini antara lain :
• Pemenuhan kebutuhan permukiman diwujudkan melalui pembangunan kawasan permukiman skala besar yang terencana
• tujuan pembangunan permukiman
• Pelaksanaan ketentuandilaksanakan sesuai dengan rencana tata ruang wilayah
• Program pembangunan daerah dan program pembangunan sektor mengenai prasarana, sarana lingkungan, dan utilitas umum
• Penyelenggaraan pengelolaan kawasan siap bangun dilakukan oleh badan usaha milik Negara
• kerjasama antara pengelola kawasan siap bangun dengan BUMN
• Di wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan siap bangun Pemerintah memberikan penyuluhan dan bimbingan, bantuan dan kemudahan
• ketentuan yang wajib dipenuhi oleh badan usaha dibidang pembangunan perumahan
• tahap - tahap yang dilakukan dalam pembangunan lingkungan siap bangun
• kegiatan - kegiatan untuk meningkatkan kualitas permukiman
• dll

Bab 5 Peran serta masyarakat, isi bab ini antara lain :
• hak dan kesempatan yang sama untuk turut serta dalam pembangunan perumahan / permukiman
• keikutsertaan dapat dilakukan perorangan / bersama

Bab 6 Pembinaan, isi bab ini antara lain :
• bentuk pembinanaan pemerintah dalam pembangunan
• pembinaan dilakukan pemerintah di bidang perumahan dan pemukiman
• Pembangunan perumahan dan permukiman diselenggarakan berdasarkan rencana tata ruang wilayah perkotaan dan rencana tata ruang wilayah
• dll.

Bab 7 Ketentuan Pidana, isi bab ini antara lain :
• hukuman yang diberikan pada yang melanggar peraturan dalam pasal 7 baik disengaja ataupun karena kelalaian.
• dan hukumannya dapat berupa sanksi pidana atau denda.

Bab 8 Ketentuan Lain-lain, isi bab ini antara lain :
• Penerapan ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 tidak menghilangkan kewajibannya untuk tetap memenuhi ketentuan Undang-undang ini.
• Jika kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 tidak dipenuhi oleh suatu badan usaha di bidang pembangunan perumahan dan permukiman, maka izin usaha badan tersebut dicabut.

Bab 9 Ketentuan Peralihan, isi bab ini antara lain :
• Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, semua peraturan pelaksanaan di bidang perumahan dan permukiman yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini atau belum diganti atau diubah berdasarkan Undang-undang ini.

Bab 10 Ketentuan Penutup, isi bab ini antara lain :
• Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang nomor 6 tahun 1962 tentang Pokok-pokok perumahan (Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2476) menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Tahun 1964 nomor 3,
• Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan penerapannya diatur dengan Peraturan Pemerintah selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sejak Undang-undang ini diundangkan.


PENGAPLIKASIAN DARI UU TERSEBUT YAITU Pada tahun 1980 penduduk perkotaan berjumlah sekitar 32,85 juta (22,27% dari jumlah penduduk nasional). Tahun 1990 jumlah penduduk perkotaan menjadi sekitar 55,43 juta (30,9% dari jumlah penduduk nasional). Tahun 1995 jumlah penduduk perkotaan menjadi sekitar 71.88 juta (36,91% dari jumlah penduduk nasional). Saat ini jumlah penduduk perkotaan seluruhnya diperkirakan mencapai hampir 110 juta orang, dengan pertumbuhan tahunan sekitar 3 juta orang. Sensus penduduk tahun 2000 mencatat total jumlah penduduk adalah 206.264.595 jiwa. 2Tingkat urbanisasi mencapai 40% (tahun 2000), dan diperkirakan akan menjadi 60% pada tahun 2025 (sekitar 160 juta orang)3. Laju pertumbuhan penduduk perkotaan pada kurun waktu 1990-2000 tercatat setinggi 4,4%/tahun, sementara pertumbuhan penduduk keseluruhan hanya 1,6%/tahun. Perkembangan kota-kota yang pesat ini disebabkan oleh perpindahan penduduk dari desa ke kota, perpindahan dari kota lain yang lebih kecil, pemekaran wilayah atau perubahan status desa menjadi kelurahan. Ruang dilihat sebagai wadah dimana keseluruhan interaksi sistem sosial (yang meliputi manusia dengan seluruh kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya) dengan ekosistem (sumberdaya alam dan sumberdaya buatan) berlangsung. Ruang perlu ditata agar dapat memelihara keseimbangan lingkungan dan memberikan dukungan yang nyaman terhadap manusia serta mahluk hidup lainnya dalam melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya secara optimal.